LAPORAN
PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II
KEKUATAN LIGAN
AMONIA DAN AIR DALAM KOMPLEKS Ni (II) DAN Cu (II)
I.
Maksud
Percobaan
Mempelajari
perbedaaan kekuatan ligan antara ligan amonia dan air
II.
Alat
dan Bahan
A. Alat :
-
Labu ukur 25 ml 2 buah
-
Pipet ukur 10 ml 2 buah
-
Gelas beker 100 ml 3 buah
-
Gelas ukur 25 ml 1 buah
-
Glasfin 2 buah
-
Pipet tetes 2 buah
-
Pengaduk 1
buah
-
Spektrofotometer UV VIS 1
buah
B. Bahan :
-
Kristal Ni (NO3)2. 6 H2O 0, 75 gram
-
Kristal CuSO4.5H2O 0, 63 gram
-
NH4OH pekat 4 ml
-
Akuades secukupnya
III.
Dasar Teori
Ion kompleks
atau terdiri dari atom atau ion pusat dan sejumlah ligan. Jumlah relatif
komponen-komponen ini dalam kompleks stabil mengikuti ketentuan stoikiometri ,
walaupun ini tidak diinterpretasikan dengan konsep klasik valensi. Atom pusat
dapat dikarakterkan oleh bilangan koordinasi yang menunjukkan jumlah ligan
(monodentat) yang dapat membentuk kompleks stabil dengan satu atom pusat. Dalam
kebanyakan kasus, bilangan koordinasi adalah 6 (sebagai dalam kasus Fe2+, Fe3+,
Zn2+, Cr3+, Co3+, Ni2+), kadang 4 (Cu2+, Cu2+), tetapi 2 (Ag2+) dan 8 (
beberapa ion dalam kelompok platinum) bisa terbentuk. Ligan tersusun disekitar
atom pusat secara simetris. Ion anorganik sederhana dan molekul seperti NH3,
CN-, Cl-, H2O membentuk ligan monodentat (Svehla,1979).
Kebanyakan
ligan adalah anion atau molekul netral yang merupakan donor elektron. Beberapa
yang umum adalah F¬-, Cl-, Br¬-, CN-, NH3, H2O, CH3OH, dan OH-. Ligan seperti
ini, bila menyumbangkan sepasang elektronnya kepada sebuah atom logam, disebut
ligan monodentat atau ligan bergigi satu. Ligan yang mengandung dua atau lebih atom, yang
masing-masing secara serempak membentuk ikatan dua donor-elektron kepada ion
logam yang sama, disebut ligan polidentat. Ligan ini juga disebut ligan kelat
karena ligan ini tampaknya mencengkeram kation di antara dua atau lebih atom
donor (Cotton dan Wilkinson, 1989).
Di dalam ion
bebas kelima orbital d bersifat degenerasi artinya mempunyai energi yang sama
dan elektron dalam orbital ini selalu memenuhi hukum multiplicity yang
maksimal. Teori medan kristal terutama membicarakan pengaruh dari ligan yang
tersusun secara berbeda-beda di sekitar ion pusat terhadap energi dari orbital
d. pembagian orbital d menjadi dua golongan yaitu orbital eg atau dj dan
orbital t2g atau de mempunyai arti penting dalam h. Bila ligan yang berupa ion
negatif atau kutub negatif dari molekul mendekati ion pusat, maka medan listrik
yang ditimbulkan oleh ligan tersebut akan mempengaruhi elektron d pada ion
pusat. Elektron d pada ion pusat akan memberikan gaya tolak yang lebih kuat
dari gaya tarik yang ada antar ligan dan ion pusat tersebut. Penolakan tersebut
akan menyebabkan bertambahnya energi orbital d pada ion pusat yang bersangkutan
(Syarifuddin, 1994).
Kompleks
koordinasi menyerap cahaya pada daerah nampak dalam spektrum, menunjukkan warna
khusus. Teori medan kristal dan medan ligan yang telah dikembangkan dapat
menerangkan interpretasi warna. Ligan memimpin, untuk octahedral, ke
stabilisasi orbital diagonal (t2g) dengan -4Dq (-0,4Δo) dan destabilisasi
orbital aksial (eg) dengan +6Dq (+6 Δo) dan pemisahan Δo ; untuk sejumlah besar
kompleks, Δo berada pada range ~7000 - ~40.000 cm-1, yang berada dalam daerah
infrared dekat- tampak-ultraviolet dekat. Energy dibutuhkan untuk promosi
elektron dari tingkat lebih rendah ke lebih tinggi, dan dimana energi ditangkap
antara tingkat yang sama dengan daerah spektra cahaya tampak, dalam mencapai
keadaan tereksistasi bagian terpilih dari spektra cahaya berwarna diserap; kita
melihat residu sebagai warna dalam kompleks. Jika diagram spilting oktahedral
diuji untuk semua transisi ion logam deret pertama dalam medan octahedral,
dapat diketahui konsep dan dapat dimengerti mengapa beberapa senyawa tidak
berwarna (Lawrance, 2010).
Teori medan kristal yang dikemukakan oleh beberapa
ahli fisika pada tahun 1930 baru berkembang dan diterapkan dalam bidang kimia
sekitar tahun 1950. Teori ini dikembangkan karena teori ikatan valensi yang
dikemukakan oleh Linus Pauling tidak dapat menjelaskan berbagai sifat ion
kompleks, misalnya (Syarifuddin, 1994) :
1. Warna senyawa kompleks/ ion
kompleks.
2. Adanya ion seperti Ni2+, Td2+, Au3+ yang dapat
membentuk ion kompleks planar
segiempat dan juga membentuk ion kompleks tetrahedral.
3. Terjadinya spektra elektronik.
4. Pengecualiaan
yang ditemukan pada ion [Cu(NH3)4]2+ yang mempunyai
geometri
planar segiempat.
5. Sifat ionik
pada ion [FeF6]3-.
Menurut
teori medan kristal atau crystal field theory (CFT), ikatan antara atom pusat
dan ligan dalam kompleks berupa ikatan ion, hingga gaya-gaya yang ada hanya
berupa gaya elektrostatik. Ion kompleks tersususn dari ion pusat yang
dikelilingi oleh ion-ion lawan atau molekul-molekul yang mempunyai momen dipol
permanen (Sukardjo, 1992).
Teori medan
kristal tentang senyawa koordinasi menjelaskan bahwa dalam pembentukan kompleks
terjadi interaksi elektrostatik antara ion logam (atom pusat) dengan ligan.
Jika ada empat ligan yang berasal dari arah yang berbeda, berinteraksi dengan
atom/ion logam pusat, langsung dengan ligan akan mendapatkan pengaruh medan
ligan lebih besar dibandingkan dengan orbital-orbital lainnya. Akibatnya,
orbital tersebut akan mengalami peningkatan energi dan kelima sub orbital d-nya
kan terpecah (splitting) menjadi dua kelompok tingkat energi. Kedua kelompok
tersebut adalah : 1). Dua sub orbital (dx2 – dy2, dan dz2) yang disebut dy atau
eg dengan tingkat energi yang lebih tinggi, dan 2). Tiga sub orbital (dxz, dxy,
dan dyz) yang disebut de atau t2g dengan tingkat energi yang lebih rendah.
Perbedaan tingkat energi ini menunjukkan bahwa teori medan kristal dapat
menerangkan terjadinya perbedaan warna kompleks (Hala, 2010).
Medan
listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligan-ligan sekelilingnya, sedang
medan gabungan dari ligan-ligan akan mempengaruhi elektron-elektron dari ion
pusat. Pengaruh ligan ini terutama mengenai electron d dari ion pusat dan
seperti kita ketahui ion kompleks dari logam-logam transisi. Pengaruh ligan
tergantung dari jenisnya, terutama pada kekuatan medan listrik dan kedudukan
geometri ligan-ligan dalam kompleks (Sukardjo, 1992).
Bila medan
lstrik ligan mempengaruhi kelima orbital d dengan cara yang sama, maka
orbital-orbital d tersebut tetap tergenerasi, tetapi pada tingkat energi yang
lebih tinggi. Medan listrik yang dihasilkan oleh ligan tergantung pada letak
ligan tersebut disekeliling ion pusat. Jadi medan listrik ligan dalam struktur
oktahedral, tetrahedral dan planar segiempat akan berbeda satu sama lain
(Syarifuddin, 1994).
IV.
Cara Kerja
A.
Kompleks Ni (II)
1.
Menyiapkan semua alat
dan bahan yang dibutuhkan serta membersihkannya terlebih dahulu sebelum dipakai
2.
Menimbang kristal Ni(NO3) 0,75
gr
3.
Membuat larutan
induk dengan melarutkan kristal dalam 25 ml aquades
4.
Membuat larutan
kompleks I [Ni(H2O)6]2+ dengan mengambil 1 ml
laruatn induk Ni dan melarutkannya dalam labu ukur 10 ml dengan aquades.
5.
Membuat larutan
kompleks II [Ni(NH3)6]2+ dengan mengambil 10
ml laruatn induk Ni lalu menambahkan 2 ml NH4OH dan 7 ml H2O.
6.
Mengamati
absorbansi larutan kompleks I dan II dengan spektrofotometer UV-VIS single
beam.
7.
Membandingkan
hasil pengukuran dengan literatur dan antara kompleks I dan II.
B.
Kompleks Cu (II)
1.
Menyiapkan semua alat
dan bahan yang dibutuhkan serta membersihkannya terlebih dahulu sebelum dipakai
2.
Menimbang kristal Cu2+ 0,63
gr
3.
Membuat larutan
induk dengan melarutkan kristal dalam 25 ml aquades
4.
Membuat larutan
kompleks I [Cu(H2O)4]2+ dengan mengambil 1 ml
laruatn induk Ni dan melarutkannya dalam labu ukur 10 ml dengan aquades.
5.
Membuat larutan
kompleks II [Cu(NH3)4]2+ dengan mengambil 10
ml laruatn induk Ni lalu menambahkan 2 ml NH4OH.
6.
Mengamati
absorbansi larutan kompleks I dan II dengan spektrofotometer UV-VIS single
beam.
7. Membandingkan hasil pengukuran dengan literatur dan antara kompleks I dan
II.
Kesimpulan
1. Ligan
NH3 memiliki kekuatan medan ligan yang lebih besar dibadingkan H2O.
2. Semakin besar kekuatan suatu ligan akan menyebabkan
pergeseran panjang gelombang pada absorbansi maksimum ke arah yang lebih
pendek, dan begitupun sebaliknya.
Daftar
Pustaka
Cotton, F.A. dan Wilkinson, G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta :
UI-Press
Hala, Y. 2010. Penuntun
Praktikum Kimia Anorganik. Makassar : Laboratorium Anorganik FMIPA
Universitas Hasanuddin.
Sukardjo. 1992. Kimia
Koordinniasi. Jakarta : Rineka Cipta
Syarifuddin, N. 1994. Ikatan Kimia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Svehla. 1979. Buku
Ajar Vogel : Analisis Kimia Kuantitatif Anorganik Makro dan Semimikro.
Jakarta : PT. Bina Rupa Aksara
file lengkap dapat di download di sini